Pembangunan Inklusif: Pelajaran dari Penanganan HIV dan Kegagalan REDD+

Pembangunan inklusif adalah kunci pembangunan berkelanjutan. Pelajari pentingnya melalui studi kasus kontras: kesuksesan penanganan HIV yang melibatkan populasi kunci dan kegagalan proyek REDD+ yang mengabaikan hak masyarakat adat.

PENGANTAR KE SEKTOR PEMBANGUNANINDONESIANAI-ASSISTED

Cornelius Prabhaswara Marpaung

7/14/20253 min read

people building structure during daytime
people building structure during daytime

Development atau dalam Bahasa Indonesia kita kenal sebagai “Pembangunan” adalah usaha-usaha sistematis untuk meningkatkan kualitas dan taraf hidup manusia. Secara inheren, ini adalah sebuah usaha yang kompleks, mengingat manusia adalah makhluk yang kompleks dengan kehidupan yang kompleks pula. Konsep pembangunan berkelanjutan dan partisipatif menjadi krusial untuk memastikan dampak jangka panjang yang positif.

Dalam banyak proyek ‘Pembangunan’, sang agen ‘Pembangun’ tidak selalu berasal dari kelompok yang ‘dibangun’. Mereka bisa jadi berasal dari etnis lain, kelas ekonomi lain, atau bahkan negara lain. Kondisi ini seringkali menimbulkan masalah mendasar: usaha-usaha pembangunan tidak didasarkan pada apa yang benar-benar dibutuhkan komunitas, melainkan didasarkan pada pemahaman atau asumsi si ‘pembangun’.

Akibatnya, jutaan dolar, ribuan jam kerja, dan sumber daya lainnya dituangkan ke dalam suatu program, namun tidak menghasilkan dampak, atau malah memperburuk kondisi kehidupan kelompok yang seharusnya dibantu. Di sinilah pentingnya inklusi dalam pembangunan menjadi sebuah keharusan, bukan lagi pilihan.

Studi Kasus Sukses: Peran Populasi Kunci dalam Penanganan HIV Global

Pada awal epidemi HIV dan AIDS di Amerika Serikat tahun 1980-an, kelompok gay & transgender menjadi target stigma dan disalahkan atas munculnya penyakit ini, yang bahkan sempat disebut sebagai ‘Gay-related Immune Deficiency’ (GRID). Kelompok Lelaki yang berhubungan seks dengan lelaki (LSL) dikucilkan dari diskursus pencegahan dan penanganannya, serta dihambat oleh regulasi yang membatasi ruang gerak mereka.

Pergeseran besar terjadi pada tahun 90-an ketika populasi ‘rentan’ ini mulai diakui sebagai Populasi Kunci dalam respons HIV. Kelompok ini—termasuk LSL, pengguna narkoba suntik (penasun), pekerja seks (PS), dan transgender—tidak tinggal diam. Mereka berorganisasi membentuk jala-jala aksi strategis seperti ACT UP (AIDS Coalition to Unleash Power) yang melakukan aksi-aksi ikonik untuk menuntut hak mereka.

Koalisi ini juga menjadi inovator kesehatan masyarakat. Mereka adalah salah satu kelompok pertama yang mempromosikan kondom untuk mencegah transmisi HIV dan mengidentifikasi hubungan seks berisiko sebagai faktor utama penularan. Pemahaman yang datang dari dalam komunitas ini mendorong diskursus publik yang menjauh dari stigmatisasi dan menempatkan mereka sebagai aktor kunci yang memimpin dan mengimplementasikan intervensi.

Usaha ini disambut dengan afirmasi dari lembaga global seperti World Health Organization (WHO) dan PBB, yang mulai melibatkan representasi dari komunitas populasi kunci. Prinsip-Prinsip Denver menjadi tonggak sejarah, menyatakan bahwa orang dengan AIDS berhak atas martabat dan partisipasi aktif dalam perawatan serta kebijakan yang memengaruhi mereka.

Inisiatif besar seperti Global Fund (2002) dan PEPFAR (2003) akhirnya mengalokasikan sumber daya signifikan untuk program yang dipimpin Populasi Kunci. Meskipun tidak dilibatkan sejak awal, aktivisme akar rumput dan bukti epidemiologis membantu mereka mengubah rezim penanganan HIV global menjadi lebih efektif dan berdampak. Respon HIV global adalah bukti nyata bagaimana pembangunan yang dipimpin oleh komunitas terdampak dapat mencapai hasil luar biasa.

Kegagalan Inklusi: Ketika Proyek REDD+ Mengabaikan Hak Masyarakat Adat

Berbeda dengan kisah sukses di atas, kita melihat cerita sebaliknya dalam implementasi REDD+ (Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation). REDD+ adalah inisiatif iklim global yang memberikan insentif ekonomi bagi negara berkembang untuk melindungi hutan, didanai oleh negara maju. Tujuannya mulia: mengikatkan konservasi dengan motif ekonomi.

Namun, dalam praktiknya, banyak proyek REDD+ gagal menerapkan prinsip Free, Prior and Informed Consent (FPIC)—persetujuan bebas, di awal, dan terinformasi. Ketiadaan FPIC yang kuat membuat komunitas penduduk asli terpecah akibat pembatasan penggunaan lahan dan gangguan terhadap pola hidup mereka.

Proyek-proyek REDD+ seringkali mengklaim tanah adat yang menjadi sumber perburuan, pangan, dan spiritualitas masyarakat setempat. Karena banyak dari tanah ini tidak bersertifikat resmi, negara dan perusahaan mudah mengambil alihnya untuk skema REDD+.

Pada akhirnya, manfaat ekonomi dari konservasi hutan tidak sampai ke masyarakat adat yang justru kehilangan segalanya: hutan, sumber makanan, dan situs budaya. Mereka disingkirkan atas nama ‘konservasi’ dan ‘penangkapan karbon’. Laporan dari Forest Peoples Programme dan studi dalam Environmental Science & Policy mengonfirmasi bahwa banyak proyek REDD+ gagal menghormati hak-hak masyarakat adat dan tidak memiliki proses FPIC yang memadai. Kegagalan ini menjadi contoh nyata dampak sosial negatif dari proyek pembangunan yang tidak inklusif.

Pembangunan Inklusif sebagai Fondasi Kemajuan Sejati

Inklusi bukanlah sekadar kata kunci, melainkan fondasi penting bagi pembangunan manusia yang sejati. Kisah sukses penanganan HIV menunjukkan bagaimana kepemimpinan dari komunitas yang terdampak dapat menghasilkan perubahan berkelanjutan.

Sebaliknya, pengalaman pahit proyek REDD+ menjadi peringatan keras tentang konsekuensi ketika pembangunan partisipatif dikesampingkan. Tujuan mulia seperti konservasi lingkungan tidak dapat membenarkan pengabaian terhadap hak-hak fundamental masyarakat adat.

Untuk mencapai kemajuan yang adil dan berdampak, sudah saatnya kita menyadari bahwa pembangunan haruslah menjadi upaya kolaboratif. Suara, kebutuhan, dan hak setiap individu harus dihormati sepenuhnya. Hanya dengan demikianlah, "pembangunan" dapat benar-benar meningkatkan kualitas hidup manusia secara holistik dan berkelanjutan.