Ekosistem Pembangunan Sosial di Indonesia: Aktor, Aksi, dan Hambatan
Bagaimana kondisi ‘skena’ pembangunan sosial di Indonesia? Siapa-siapa saja dan apa-apa saja yang terlibat di dalamnya? dan apakah sebenarnya kita bisa dan mau menjadi sektor yang lebih berdampak bagi Indonesia?
GOVERNMENTINDONESIANAI-ASSISTEDPENGANTAR KE SEKTOR PEMBANGUNAN
Cornelius Prabhaswara Marpaung
7/11/20257 min read
Mari kita bedah skena "pembangunan" di Indonesia. Di atas kertas, arsitekturnya terlihat ideal. Ada fondasi yang kokoh: Pancasila dengan mandat keadilan sosialnya, yang dihidupi oleh semangat gotong royong. Kemudian, dasar-dasar filosofis ini dilengkapi dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), yang terstruktur dan terukur. Kombinasi inilah yang menjadi dasar agenda kesejahteraan publik di Indonesia.
Namun, realitasnya jauh lebih rumit. Terdapat kesenjangan yang terus-menerus antara retorika pembangunan ‘manusia’ dengan roda birokrasi yang sering kali terfragmentasi, dan terobsesi pada pertumbuhan ekonomi. Jadi, mari kita bongkar dan pahami lebih dekat ekosistem yang kompleks ini: arsiteknya, pendobraknya, para penyandang dananya, dan kelemahan-kelemahan fundamental yang membuat keseluruhan mesin ini tidak berjalan seperti yang seharusnya.
Negara sebagai Arsitek Utama
Pemerintah Indonesia, secara desain, adalah arsitek dan pengarah utama pembangunan sosial. Merekalah yang merancang cetak biru dalam bentuk Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (yang lebih populer dikenal sebagai Rancangan Indonesia Emas 2045), mengalokasikan anggaran, dan pada akhirnya bertanggung jawab atas integritas struktural kesejahteraan bangsa.
Para Perencana Negara (Bappenas & Kemenko PMK): Anggaplah Bappenas (Kementerian PPN) sebagai kantor arsitek utama. Inilah lembaga pemikir (think-tank) nasional yang menyusun visi jangka panjang (RPJPN), rencana strategis lima tahunan (RPJMN), dan perintah kerja tahunan (RKP). Bappenas juga merupakan konduktor resmi bagi orkestra SDGs, yang secara teoretis memastikan setiap kementerian, dan lembaga vertikal di bawahnya, bermain dari partitur yang sama. Sementara itu, Kemenko PMK (Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan) bertindak sebagai mandor lapangan, yang mengemban tugas untuk mengelola berbagai kementerian/lembaga (K/L) spesialis agar dapat berkoordinasi dalam proyek-proyek kompleks seperti pengentasan kemiskinan, penanganan stunting, dan sebagainya.
Kementerian dan Lembaga Teknis: Merekalah kementerian-kementerian dan lembaga-lembaga yang berada di garda terdepan implementasi:
Kementerian Sosial (Kemensos) mengelola infrastruktur jaring pengaman sosial nasional, menjalankan program andalan seperti bantuan tunai bersyarat Program Keluarga Harapan (PKH) dan berbagai skema Bantuan Sosial (Bansos).
Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dan BKKBN (kini Kementerian Kependudukan dan Pembangunan Keluarga/Kemendukbangga) memimpin di ranah kesehatan publik, terutama melawan stunting dan upaya mencapai Cakupan Kesehatan Semesta (Universal Health Coverage) melalui program asuransi Jaminan Kesehatan Nasional.
Kemendikbudristek - yang kini dipisah menjadi Kemendiktisaintek dan Kemendikdasmen - mengemban tugas monumental untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM) bangsa, mereformasi kurikulum, dan berupaya membangun angkatan kerja yang kompetitif.
Pelaksana Lokal (Pemerintah Daerah & Bappeda): Di sinilah rencana-rencana nasional bertemu dengan realita lokal. Pemerintah provinsi dan kabupaten/kota (Pemda) adalah pihak yang membangun di lapangan. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) di tingkat lokal menerjemahkan arahan nasional ke dalam rencana aksi daerah (RPJMD).
Seluruh sistem ini dibangun di atas paradoks perencanaan yang terpusat dan eksekusi yang terdesentralisasi.
Sebuah program nasional yang dirancang dengan sempurna oleh Bappenas dapat, dan sering kali, berantakan ketika diimplementasikan di salah satu dari ratusan daerah otonom di Indonesia, yang masing-masing memiliki dinamika politik, keterbatasan anggaran, dan kapasitas kelembagaan yang berbeda. Proses perencanaan Musrenbang, yang seharusnya menjadi jembatan aspirasi dari bawah ke atas, sering kali hanya berfungsi sebagai ritual birokrasi ketimbang wadah aspirasi publik.
Kesenjangan struktural ini adalah salah satu sumber utama kegagalan kebijakan.
Katalisator dan Pengawas: Masyarakat Sipil
Tidak ada pemerintah yang bisa berjalan sendiri. Ekosistem ini turut dipiloti, didanai, dan tak jarang ditantang oleh barisan aktor non-negara yang dinamis.
"Sektor Ketiga" (LSM/OMS): Organisasi Masyarakat Sipil (OMS), atau yang lebih dikenal sebagai Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), adalah aktor serbaguna dalam ekosistem ini. Mereka adalah inovator, penyedia layanan di daerah-daerah sulit terjangkau, pengorganisasi komunitas, dan yang terpenting, pengawas (watchdog) yang menuntut akuntabilitas pemerintah. Spektrum kerja mereka sangat luas, mulai dari perlindungan lingkungan, hak asasi manusia, hingga pemberdayaan perempuan.
Mitra Global (PBB, Bank Dunia, dll.): Mitra pembangunan internasional berperan sebagai katalisator, penyandang dana, dan penasihat teknis.
UNDP adalah mitra utama pemerintah dalam mengintegrasikan SDGs.
Bank Dunia menyediakan pembiayaan skala besar dan analisis krusial, seperti Indeks Modal Manusia.
UNICEF berfokus pada kesejahteraan anak, mendukung kampanye imunisasi nasional dan program sanitasi.
dan puluhan lembaga global lainnya.
Inilah paradoksnya: Negara secara formal merangkul LSM sebagai "mitra" pembangunan, dan donor internasional sangat mendukung implementasi di tingkat akar rumput. Namun, iklim regulasi, terutama UU Ormas yang kontroversial, memberikan pemerintah wewenang besar untuk mengontrol bahkan membubarkan mereka, menciptakan efek gentar (chilling effect) terhadap advokasi yang kritis. Hal ini diperparah oleh krisis pendanaan yang membayangi, karena banyak donor internasional mengalihkan fokus mereka dari negara berpenghasilan menengah seperti Indonesia. Dinamika ini mendorong banyak LSM ke posisi yang genting:
untuk bertahan hidup, mereka sering kali harus memprioritaskan penyediaan layanan daripada advokasi, yang berisiko melemahkan kekuatan kolektif mereka sebagai penyeimbang independen bagi kekuasaan negara.
Garda Depan Baru: Sektor Inovasi Sosial
Sebuah pergeseran menarik sedang terjadi: "marketisasi parsial" di sektor sosial. Didorong oleh perpaduan semangat filantropi, kepentingan bisnis, dan respons terhadap keterbatasan model-model pendanaan dan operasi tradisional, Sektor Inovasi dan Usaha Sosial adalah tempat di mana logika bisnis bertemu dengan masalah sosial.
Evolusi CSR dan Filantropi Strategis: Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (CSR) perlahan berevolusi dari kegiatan amal sporadis menjadi inisiatif strategis yang selaras dengan bisnis inti dan SDGs. Yang lebih berdampak adalah yayasan-yayasan filantropi keluarga yang independen seperti Tanoto Foundation dan Bakti Barito Foundation. Dengan visi jangka panjang, mereka menjalankan program-program canggih dan berskala besar di bidang pendidikan, pengembangan kepemimpinan (TELADAN), dan pengembangan anak usia dini (SIGAP), yang dalam fokus dan eksekusinya mampu mendukung dan bahkan menjalankan program pemerintah dengan lebih baik.
Kebangkitan Wirausaha Sosial: Inilah wujud konkrit dari paradigma baru. Wirausaha sosial adalah organisasi ‘hybrid’ yang menggunakan model bisnis untuk memecahkan masalah sosial. Mereka tidak hanya mencari keuntungan; mereka dirancang untuk menciptakan dampak. Ekosistem ini tumbuh subur, dengan para inovator seperti:
Waste4Change: Perusahaan pengelolaan sampah komprehensif yang mengatasi krisis sampah Indonesia dengan model bisnis yang solid, bahkan berhasil menarik pendanaan ventura jutaan dolar.
SukkhaCitta: Merek fesyen "dari kebun ke lemari" yang memberdayakan perajin perempuan dan memelopori pertanian regeneratif, membuktikan bahwa keberlanjutan bisa menjadi pembeda pasar yang kuat.
DuAnyam: Wirausaha sosial yang dimulai dengan memberdayakan perempuan penganyam di NTT untuk memerangi masalah gizi buruk dan kini telah berkembang menjadi eksportir global produk kerajinan tangan.
Kebangkitan kewirausahaan sosial dan investasi berdampak (impact investing) mengubah apa yang bisa dianggap sebagai "solusi".
Solusi tidak lagi hanya berupa program pemerintah atau proyek LSM yang didanai hibah; ia bisa menjadi sebuah bisnis yang mandiri secara finansial. Hal ini menyuntikkan inovasi, efisiensi, dan disiplin finansial yang sangat dibutuhkan ke dalam sektor ini. Namun, disrupsi ini adalah pedang bermata dua.
Solusi berbasis pasar berisiko menciptakan sistem dua tingkat: satu yang cepat, efisien, dan berteknologi tinggi untuk mereka yang "layak investasi" dan terhubung secara digital, dan satu lagi yang lambat, kekurangan sumber daya, dan tradisional untuk komunitas paling marjinal yang tidak dapat atau tidak akan dijangkau oleh pasar.
Mengapa Mesin Pembangunan Sering Macet
Di seluruh ekosistem ini, kemajuan secara konsisten terhambat oleh serangkaian kelemahan sistemik yang mendalam dan saling terkait. Ini bukanlah masalah-masalah yang terpisah, melainkan sebuah lingkaran setan.
Efek Silo ("Ego Sektoral"): Ini adalah kecenderungan akut kementerian dan lembaga untuk bekerja dalam isolasi, memprioritaskan anggaran dan program mereka sendiri tanpa koordinasi yang efektif. Hal ini menyebabkan program yang tumpang tindih, pemborosan sumber daya, dan kebijakan yang terfragmentasi. Penemuan lebih dari 27.000 aplikasi pemerintah yang terpisah dan tidak saling terhubung adalah gejala yang paling nyata dari penyakit kelembagaan yang kronis ini.
"Sampah Masuk, Sampah Keluar": Krisis Data yang Mendasar: Perencanaan yang efektif mustahil dilakukan tanpa data yang akurat. Mulai dari data kemiskinan hingga prevalensi stunting, data pembangunan Indonesia terkenal tidak dapat diandalkan. Prinsip "sampah masuk, sampah keluar" berlaku mutlak: perencanaan yang didasarkan pada data yang salah akan menghasilkan kebijakan yang keliru dan penargetan bantuan yang meleset. Inisiatif "Satu Data Indonesia" adalah upaya pemerintah untuk memperbaiki masalah mendasar ini, meski belum sepenuhnya efektif.
Paradoks Pentahelix: Kolaborasi yang Cacat: Model "pentahelix" (sinergi antara pemerintah, akademisi, bisnis, komunitas, dan media) adalah kondisi ideal yang diharapkan. Realitasnya sering kali merupakan kerjasama-kerjasama problematis yang penuh rasa saling tidak percaya, kepentingan yang saling bertentangan, dan dinamika kekuasaan yang tidak seimbang. Pemerintah, sebagai pemegang sumber daya terbesar, cenderung mendominasi, sehingga "partisipasi" dari aktor lain menjadi kurang bermakna. Partisipasi warga, elemen kunci dari helix ini, seringkali menjadi mata rantai terlemah.
Inilah lingkaran setannya: Ego sektoral menyebabkan setiap lembaga menimbun datanya sendiri, yang secara langsung menciptakan krisis data di tingkat sistemik. Ketika para aktor bekerja dengan data yang berbeda dan tidak akurat, kolaborasi yang efektif menjadi mustahil. Kegagalan kolaborasi yang berulang ini, pada gilirannya, mendorong setiap lembaga untuk kembali ke silo mereka, dengan berpikir "lebih mudah mengerjakannya sendiri," yang semakin memperkuat budaya ego sektoral.
Jalan ke Depan: Rekomendasi untuk Menghidupkan Ulang Sistem
Memutus lingkaran setan ini membutuhkan lebih dari sekadar program yang lebih baik; ia menuntut perbaikan pada mesin tata kelola itu sendiri.
Wajibkan Perencanaan dan Penganggaran Terintegrasi: Beranjak dari sekadar seruan untuk berkoordinasi menuju kewajiban yang mengikat. Anggaran kementerian harus dikaitkan dengan keberhasilan mereka dalam mencapai target-target lintas sektor yang menjadi prioritas nasional, seperti penurunan stunting. Model ini harus diperkuat untuk memastikan APBN benar-benar mencerminkan strategi bersama, bukan sekadar kumpulan rencana sektoral.
Percepat dan Tegakkan Kebijakan "Satu Data Indonesia": Perbaikan infrastruktur data harus menjadi prioritas strategis nasional. Bappenas dan BPS perlu diberi kewenangan dan sumber daya untuk menegakkan standar data di semua tingkatan pemerintahan. "Satu Data" adalah prasyarat mutlak untuk perencanaan berbasis bukti dan kebijakan yang kredibel.
Depolitisasi Bantuan Sosial dan Perkuat Sistem Perlindungan Adaptif: Ciptakan aturan yang jelas, transparan, dan mengikat secara hukum mengenai mekanisme penyaluran semua jenis bantuan sosial, terutama menjelang pemilu, untuk mencegah penyalahgunaannya sebagai alat politik. Tujuannya adalah membangun sistem perlindungan sosial yang adaptif, yang dapat secara otomatis ditingkatkan skalanya saat terjadi guncangan (seperti krisis ekonomi), sehingga mengurangi kebutuhan akan intervensi sporadis yang sarat muatan politis.
Jamin Keberlanjutan dan Independensi Masyarakat Sipil: Pemerintah perlu secara serius menindaklanjuti usulan pembentukan "Dana Abadi LSM". Sumber pendanaan domestik yang stabil sangat penting untuk memastikan masyarakat sipil dapat terus berfungsi sebagai mitra vital dalam penyediaan layanan, pemberdayaan, dan sebagai pengawas independen yang efektif.
Jembatani Kesenjangan Digital untuk Transformasi yang Inklusif: Upaya masif untuk mendigitalisasi layanan publik harus diimbangi dengan investasi publik yang sama masifnya pada infrastruktur dan literasi digital, terutama di daerah-daerah tertinggal. Transformasi digital yang meninggalkan kelompok paling rentan di belakangnya bukanlah sebuah kemajuan; itu adalah bentuk baru dari ketimpangan.
Pembangunan sosial di Indonesia merupakan proses kompleks yang melibatkan berbagai pihak dari sektor pemerintah, masyarakat sipil, bisnis, dan wirausaha sosial.
Meski dihadapkan pada tantangan berat seperti ego sektoral, krisis data, dan kolaborasi yang tidak efektif, harapan untuk memperbaiki sistem ini masih ada.
Dengan komitmen pada perencanaan terintegrasi, penggunaan data yang lebih baik, penguatan perlindungan sosial, dukungan bagi masyarakat sipil, dan pembangunan digital yang inklusif, Indonesia dapat memutus lingkaran setan yang menghambat kemajuan. Pembangunan yang sejati tidak hanya tentang program dan proyek, tetapi tentang membangun ekosistem yang memungkinkan semua pihak berkolaborasi secara efektif untuk menciptakan masa depan yang lebih adil dan berkelanjutan bagi seluruh masyarakat Indonesia.